INDEPENDENSI
 AUDITOR DAN KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI MEDIASI PENGARUH PEMAHAMAN GOOD
 GOVERNANCE, GAYA KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA 
AUDITOR
   
 
 
 
Kantor
 akuntan publik merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang 
jasa. Jasa yang diberikan berupa jasa audit operasional, audit kepatuhan
 (compliance audit) dan audit laporan keuangan (Arens dan Loebbecke, 
2003:4). Akuntan publik dalam menjalankan profesinya diatur oleh kode 
etik profesi. Di Indonesia dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan 
Indonesia. Pasal 1 ayat 2 Kode Etik Akuntan Indonesia menyatakan bahwa 
setiap anggota harus mempertahankan integritas, objektivitas dan 
independensi dalam melaksanakan tugasnya. 
Seorang
 auditor yang mempertahankan integritas, akan bertindak jujur dan tegas 
dalam mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi. Auditor
 yang mempertahankan objektivitas, akan bertindak adil tanpa dipengaruhi
 tekanan dan permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. 
Auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh dan 
tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri 
auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan.
 Di samping itu dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai 
sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar 
etika yang telah ditetapkan oleh profesinya. 
Akuntan
 publik dalam melaksanakan pemeriksaan akuntan, memperoleh kepercayaan 
dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran
 laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Klien dapat 
mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan 
kepentingan para pemakai laporan keuangan. Demikian pula, kepentingan 
pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai 
lainnya. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran 
laporan keuangan yang diperiksa, akuntan publik harus bersikap 
independen terhadap kepentingan klien, pemakai laporan keuangan, maupun 
kepentingan akuntan publik itu sendiri. Kurangnya independensi auditor 
dan maraknya manipulasi akuntansi korporat membuat kepercayaan para 
pemakai laporan keuangan auditan mulai menurun, sehingga para pemakai 
laporan keuangan seperti investor dan kreditur mempertanyakan eksistensi
 akuntan publik sebagai pihak independen. 
Krisis
 moral dalam dunia bisnis yang mengemuka akhir-akhir ini adalah kasus 
Enron Corporation. Laporan keuangan AMKP-02 3 Enron sebelumnya 
dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson,
 salah satu kantor akuntan publik (KAP) dalam jajaran big four, namun 
secara mengejutkan pada 2 Desember 2001 dinyatakan pailit. Kepailitan 
tersebut salah satunya karena Arthur Anderson memberikan dua jasa 
sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis (Santoso, 2002). 
Di Indonesia sendiri ada kasus Kimia Farma dan Bank Lippo, dengan 
melibatkan kantor-kantor akuntan yang selama ini diyakini memiliki 
kualitas audit tinggi. Kasus Kimia Farma dan Bank Lippo juga berawal 
dari terdeteksinya manipulasi dalam laporan keuangan. Kasus lain yang 
cukup menarik adalah kasus audit PT. Telkom yang melibatkan KAP ”Eddy 
Pianto & Rekan”, dalam kasus ini laporan keuangan auditan PT. Telkom
 tidak diakui oleh SEC (pemegang otoritas pasar modal di Amerika 
Serikat). Peristiwa ini mengharuskan dilakukannya audit ulang terhadap 
PT. Telkom oleh KAP yang lain. Kasus keterlibatan 10 KAP yang melakukan 
audit terhadap bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha, 
dalam kasus ini melibatkan KAP papan atas (Winarto, 2002). Di samping 
itu, kasus penggelapan pajak oleh KAP ”KPMG Sidharta Sidharta & 
Harsono” yang menyarankan kepada kliennya (PT. Easman Christensen) untuk
 melakukan penyuapan kepada aparat perpajakan Indonesia untuk 
mendapatkan keringanan atas jumlah kewajiban pajak yang harus dibayarnya
 (Sinaga, dkk. dalam Ludigdo, 2006). Pelanggaran-pelanggaran lain oleh 
perusahaan publik yang tidak terpublikasi oleh media ini disebabkan 
adanya benturan kepentingan (melanggar Keputusan Ketua Bapepam nomor 
Kep-32/PM/2000 peraturan nomor IX.E.1). Berdasarkan kasus-kasus di atas,
 dan kemudian dihubungkan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,
 akuntan seolah menjadi profesi yang harus/paling bertanggung jawab. Hal
 ini disebabkan karena peran pentingnya akuntan dalam masyarakat bisnis.
 Akuntan publik bahkan dituduh sebagai pihak yang paling besar 
tanggungjawabnya atas kemerosotan perekonomian Indonesia (Ludigdo, 
2006). Sementara itu Sunarsip (2001) mengemukakan bahwa terjadinya 
krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tata kelola yang buruk (bad 
governance) pada sebagian besar pelaku ekonomi (publik dan swasta). 
Lebih lanjut Sunarsip menyatakan bahwa peran profesi akuntan selama ini 
masih belum optimal dalam mewujudkan good governance. AMKP-02 4 Oleh 
karena itu tuntutan terhadap terwujudnya good governance (tata kelola 
yang baik) sangat diperlukan, baik oleh perusahaan bisnis manufaktur 
maupun non-manufaktur termasuk KAP sendiri. Peran profesi auditor dalam 
hal ini harus lebih diberdayakan baik secara internal (KAP) maupun 
eksternal (stakeholder) agar mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam
 mewujudkan good governance tersebut. Pemberdayaan auditor antara lain: 
pemahaman good governance yang lebih baik, tanggungjawab yang lebih 
besar dan kebebasan mengkreasi pekerjaan dalam membantu stakeholder 
namun tidak menyalahi etika profesi yang ada. Pengetahuan akan hukum 
bisnis agar mampu mengidentifikasi perilaku bisnis yang lebih kompleks. 
Keahlian dalam menganalisis kondisi mendatang (future) yang lebih baik 
sehingga opini yang dihasilkan akan sangat aktual dan terpercaya. Aturan
 yang mengacu prinsip good governance tidak hanya akan mencegah skandal 
tetapi juga bisa mendongkrak kinerja korporat (Samianto, 2004). 
Prinsip
 dasar konsep good governance pada KAP antara lain terkait dengan 
beberapa hal. Pertama, fairness (keadilan): akuntan publik dalam 
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, 
harus bersikap independen dan menegakkan keadilan terhadap kepentingan 
klien, pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan 
publik itu sendiri. Kedua, transparency (transparansi): hendaknya 
berusaha untuk selalu transparansi terhadap informani laporan keuangan 
klien yang diaudit. Ketiga, accountability (akuntabilitas): menjelaskan 
peran dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan pemeriksaan dan 
kedisiplinan dalam melengkapi pekerjaan, juga pelaporan. Keempat, 
responsibility (pertanggungjawaban): memastikan dipatuhinya prinsip 
akuntansi yang berlaku umum dan berpedoman pada standar profesional 
akuntan publik selama menjalankan profesinya. Di samping itu juga 
dipatuhinya kode etik akuntan publik. Larkin (1990) menyatakan bahwa 
terdapat empat dimensi personalitas dalam mengukur kinerja auditor, 
antara lain: kemampuan (ability), komitmen profesional, motivasi, dan 
kepuasan kerja. Seorang auditor yang mempunyai kemampuan dalam hal 
auditing maka akan cakap dalam menyelesaikan pekerjaan. Auditor yang 
komitmen terhadap profesinya maka akan loyal terhadap profesinya seperti
 yang dipersepsikan oleh audititor tersebut. Motivasi yang dimiliki 
seorang auditor akan mendorong keinginan individu auditor tersebut untuk
 melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk AMKP-02 5 mencapai suatu 
tujuan. Adapun kepuasan kerja auditor adalah tingkat kepuasan individu 
auditor dengan posisinya dalam organisasi secara relatif dibandingkan 
dengan teman sekerja atau teman seprofesi lainnya. Kinerja KAP yang 
berkualitas sangat ditentukan oleh kinerja auditor. Secara ideal di 
dalam menjalankan profesinya, seorang auditor hendaknya memperhatikan 
prinsip dasar good governance dalam KAP tersebut. Auditor juga harus 
mentaati aturan etika profesi yang meliputi pengaturan tentang 
independensi, integritas dan obyektivitas, standar umum dan prinsip 
akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan 
seprofesi, serta tanggung jawab dan praktik lainnya (Satyo, 2005). Lebih
 lanjut Satyo menyatakan memahami kode etik saja tidak cukup untuk 
membuat perilaku karyawan dan perusahaan menjadi lebih baik dan etis. 
Pemahaman good governance diimplementasikan pada perusahaan secara 
tepat, terutama untuk memperoleh karakter perusahaan yang kuat dalam 
menghasilkan manajemen kinerja yang unggul. Terkait dengan good 
governance, gaya kepemimpinan (leadership style) juga dapat mempengaruhi
 kinerja. Gaya kepemimpinan (leadership style) merupakan cara pimpinan 
untuk mempengaruhi orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga 
orang tersebut mau melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan 
organisasi meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi 
(Luthans, 2002:575). Alberto et al. (2005) bahwa kepemimpinan 
berpengaruh positif kuat terhadap kinerja, juga berpengaruh signifikan 
terhadap learning organisasi. Temuan ini memberikan sinyal bahwa gaya 
kepemimpinan seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap kinerja 
bawahannya, di samping itu untuk mendapatkan kinerja yang baik 
diperlukan juga adanya pemberian pembelajaran terhadap bawahannya. 
Demikian pula gaya kepemimpinan pada KAP sangat diperlukan karena dapat 
memberikan nuansa pada kinerja auditor yang cenderung bisa formal maupun
 informal. Gaya kepemimpinan yang cenderung informal lebih menekankan 
pola keteladanan pimpinan, namun memberikan kebebasan yang lebih luas 
bagi auditor untuk mengkreasi pekerjaannya serta tanggung jawab yang 
lebih besar, akibat dari instrumen organisasi secara formal belum 
memadai. Lok dan Crawford (2004) meneliti tentang pengaruh gaya 
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap komitmen organisasi ditinjau
 dari tingkat pekerjaan dan AMKP-02 6 budaya antar Negara. Hasil 
analisanya menunjukkan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan 
berpengaruh positif signifikan pada komitmen organisasi. Gaya 
kepemimpinan berpengaruh lebih kuat terhadap komitmen organisasi di 
Australia, sedangkan di Hongkong gaya kepemimpinan berpengaruh negatif 
pada kepuasan kerja dan berpengaruh positif pada komitmen organisasi. 
Yousef (2000) menyatakan bahwa komitmen organisasi memediasi hubungan 
antara perilaku kepemimpinan dengan kinerja, di mana anggota organisasi 
lebih puas dengan pekerjaannya dan kinerja mereka menjadi tinggi. Di 
samping itu budaya organisasi memoderasi hubungan perilaku pimpinan 
dengan kepuasan kerja. Temuan Yousef mendukung hasil penelitian Meyer et
 al. (1989) serta didukung oleh Lok dan Crawford (2004), Fernando et al.
 (2005). Peneliti ingin membuktikan apakah auditor yang komitmen 
terhadap organisasinya akan mempengaruhi kinerjanya, seperti yang 
dikemukakan Mayer et al. (1989) dan Fernando et al. (2005) bahwa 
hubungan komitmen organisasional (affective dan continuance) dengan 
kinerja adalah positif dan kuat, atau mendukung temuan Somers dan 
Bimbaum (1998) bahwa komitmen organisasional (affective dan continuance)
 tidak berhubungan dengan kinerja. Penelitian akuntansi keperilakuan 
(behavior) tentang gaya kepemimpinan, budaya organisasi, dan komitmen 
organisasi terhadap kinerja pada perusahaan bisnis manufaktur sudah 
sering dilakukan, tetapi masih jarang sekali dilakukan penelitian pada 
perusahaan bisnis non-manufaktur, seperti KAP dengan responden auditor 
independen. Oleh karena itu, dengan merujuk teori Otley (1980), maka isu
 sentral dari penelitian ini adalah: (1) Peneliti ingin membuktikan 
secara empiris, apakah independensi auditor dan komitmen organisasi 
sebagai variabel intervening akan memediasi pengaruh pemahaman good 
governance, gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja 
auditor. (2) Mengembangkan dan melakukan kajian lebih lanjut penelitian 
terdahulu yang masih kontroversi, dan (3) Membuktikan secara empiris, 
hasil penelitian selanjutnya akan sama ataukah berbeda apabila dilakukan
 pada KAP. Penelitian ini menggunakan independensi auditor dan komitmen 
organisasi sebagai variabel intervening, karena auditor yang menegakkan 
independensinya dan komitmen terhadap organisasinya, tidak akan 
terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal 
dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan fakta AMKP-02 7 yang 
dijumpainya dalam pemeriksaan. Dengan demikian seorang auditor yang 
memahami good governance, ditunjang gaya kepemimpinan yang ideal serta 
budaya organisasi yang didukung dengan independensi serta mempunyai 
komitmen (loyalitas) yang tinggi terhadap organisasinya maka kinerja 
auditor tersebut diharapkan menjadi lebih baik. Peneliti juga ingin 
menguji apakah independensi auditor dan komitmen organisasi berfungsi 
sebagai variabel kontinjensi, dengan asumsi auditor yang menegakkan 
independensi dan mempunyai komitmen terhadap organisasinya maka 
kinerjanya akan semakin baik. Menurut Otley (1980) pendekatan 
kontinjensi dalam penelitian dapat menjelaskan pengaruh bukti empiris 
yang tidak diharapkan dalam pengembangan teori yang menggunakan 
pengujian universalistik. Berdasarkan teori kontinjensi tersebut 
peneliti ingin menguji apakah auditor yang menegakkan independensinya 
juga mempunyai komitmen (loyalitas) yang tinggi terhadap organisasinya, 
dan kemudian akan meningkatkan kinerjanya.
http://jaqqaaria.blogspot.com/2010/11/tugas-4-etika-profesi-akuntansi-etika.html 
